Rawa Pening merupakan lokasi wisata popular
si Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di desa bukit cinta, kabupaten Ambarawa. Rawa
Pening sendiri berjarak lebih kurang 45 km dari semarang dan 5 km dari
salatiga. Luasnya lebih kurang 2.670 hektar mencangkup 4 wilayah kecamatan
yakni: Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan banyubiru. Telaga ini sendiri
berada di lereng gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Konon, pada masa lalu hiduplah seorang bocah
yang bernama Baru Klinting. Ia bocah yang sakti tak tertandingi. Karena
kesaktiannya tersebut, ia dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah
itu memiliki luka disekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam, luka itu tak
mau pernah kering. Jika kering, maka munculah luka baru, seperti luka memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau
bersahabat dengannya. Hal ini sering membuat nocah tersebut merasa sedih dan
kesepian, maka, ia memutuskan untuk meninggalkan kampungnya.
Pergilah Baru Klinting berkelana dari satu
tempat ke tempat lainnya untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan
penyakitnya. Telah jauh ia menempuh perjalanan dan telah banyak tabib yang di
datanginya namun belum ada juga yang mampu menyembuhkan penyakitnya.
Sampaialah ia di sebuah kampung yang kebanyakan
warganya orang-orang yang sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat
itu. Kalaupun ada, pasti akan diusir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai
cara.
Baru Klinting terus saja melangkahkan
kakinya. Hingga sampaialah ia dirumah salah seorang warga kampung yang
mengadakan pesta. Singkatnya, Baru Klinting akhirnya berhasil menyelinap masuk.
Namun apa daya, ia ketahuan. Sang empu yang mengetahui ada seorang bocah buruk
rupa menyelinap ke dalam pesta langsung murka.
“Hai bocah buruk rupa, berani sekali kau
dating ke pestaku. Kau ini tidak diundang! Asal kau tahu, pesta ini untuk orang
kaya, bersih, sehat, dan terhormat. Tidak seperti kau. Lihat saja wajahmu buruk
rupa itu. Bias-bisa semua orang di sini tertular penyakitmu.” Teriak sang empu
pesta.
“Wahai tuan, kenapa kau begitu
sombong?tidakkah kau memiliki belas kasihan kepada sesamamu, bagaimana juga
akau ini manusia sama sepertimu. Sudilah kiranya tuan sekalian memerhatikan
orang-orang tak mampu sepertiku ini.” Ratap baru Klinting.
Ahh.. aku tidak peduli, sebaiknya kau pergi.
Penjaga, seret bocah ini keluar cepat!” teriak empu pesta dengan marah.
Baru Klinting pun diusir oleh para penjaga
dengan cara diseret. Para tamu yang ada di pesta tidak ada yang mau
menolongnya. Bahkan mereka ikut mencibir dan mencaci maki Baru Klinting.
Maka pergilah Baru klinting meninggalkan
pesta itu dengan hati terluka. Ia terus berjalan dan sampailah ia di depan
rumah yang reot. Keadaan itu sungguh bertolak belakang dengan rumah-rumah di
kampung itu. Baru Klinting pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah
itu.
“Tok..tok..tok.., adakah orang di dalam?
Tolong berilah saya segelas air dan sesuap nasi. Sunggung aku sangat haus dan
lapar.” Rintih Baru Klinting.
“Siapakah disana? Tunggulah sebentar, akan
kubukakan pintu untukmu.” Sahut orang di dalam rumah itu.
Begitu pintu di buka, munculah seorang nenek
yang sudah tua. Ia mempersilahkan Baru Klinting Masuk Ke dalam Rumahnya.
“Masuklah anak muda, ini ada segelas air dan
sebungkus nasi untukmu, terimalah.” Kata nenek itu.
Baru klinting mengucapkan terima ksih atas
kebaikan nenek itu dan segera memakan nasi pemberian nenek itu.
Setelah itu nenek menanyakan asal-usul bocah
itu dan penyakitnya, dan Baru Klinting segera menceritakan asal-usul penyakit
yang dideritanya hingga peristiwa saat ia di hina oleh orang-orang di pesta
tadi. Ia juga mengungkapkan ingin membalas dendam. Ia meninggalkan pesan untuk
nenek itu agar ia menyiapkan sebuah lesung dan sebuah enthong (sendok)
nasi. Jika sewaktu-waktu ia mendengar gemuruh air, maka cepat-cepatlah naik ke
atas lesung. Keesokan harinya, baru Klinting segera menuju ke lapangan.
Kemudian Baru Klinting berkata. “ Wahai
orang-orang kaya lagi sombong, kalian boleh saja merasa paling hebat, namun aku
bersumpah tak ada seorang pun dari kalian yang mampu mencabut sebatang lidi
yang aku tancapkan ini, kecuali diriku,” kata Baru Klinting.
“Hah mana mungkin lidi sekecil itu tak bias
dicabut. Kami adalah keturunan orang-orang kaya, pendekar. Jika hanya mencabut
sebatang lidi itu, huh… bukan pekerjaan yang sulit.” Ujar orang itu sambil maju
untuk mencabut lidi yang ditancapkan Baru Klinting itu.
Akan tetapi, sekuat apapun orang ingin
mencabutnya, tetap saja lidi itu tidak bergeming dari tempatnya. Satu demi satu
warga mencobanya, tapi tetap saja lidi itu tidak bergeming sedikitpun. Hingga
akhirnya orang-orang merasa takut dengan omongan si bocah.
Hari demi hari telah berlalu, tapi tak
seorang pun yang berhasil mencabutnya, hingga secara diam-diam Baru klinting
kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Tak lama kemudian, tetesan airpun
keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak.
Si nenek yang mendengar gemuruh air di
kejauhan, segera naik keatas lesung yang telah disiapkan dan tak lupa membawa enthong.
Si nenek akhirnya selamat setelah mendayung lesungnya dengan menggunakan enthong.
Akhirnya orang-orang yang berpenduduk sombong itu tenggelam. Genangan air makin
lama makin tinggi dan membentuk telaga yang dinamakan Rawa Pening.
No comments:
Post a Comment